Entri Populer

Kamis, 18 Juli 2013

PERBANKAN SYARIAH

PERBANKAN SYARIAH

2.1 Pengertian Bank Syariah
Sebelum kita membahas tentang pengertian bank syariah, perlu dipahami bahwa banyak para tokoh memberikan pendapat mengenai pengertian bank syariah, sehingga Odengan yang lain berbeda-beda asumsinya. Secara garis besar pengertian bank syariah itu merupakan sebuah lembaga perbankan yang pada prinsipnya berpegang pada syariat Islam. Namun, untuk lebih jelasnya silakan simak beberapa tokoh dalam  menguraikan pengertian banksyariah
         Pengertian bank syariah atau bisa dikenal dengan bank islam mempunyai sistem operasi di mana ia tidak mengandalkan pada bunga. Bank Islam atau biasa disebut dengan bank tanpa bunga ini, bisa dikatakan sebagai lembaga keuangan atau perbankan yang operasional dan produknya dikembangkan berlandaskan pada Al-Qur‟an dan Hadist Nabi SAW. Atau dengan kata lain, bank Islam adalah lembaga keuangan yang usaha pokoknya memberikan pembiayaan dan jasa-jasa lainnya dalam lalu lintas pembayaran serta peredaran uang yang pengoperasiannya disesuaikan dengan prinsip syariat Islam. (Karnaen Perwataatmadja dan M. Syafe‟i Antonio).


 Pengertian bank syariah sebenarnya telah diatur dalam Undang-undang. Pasal 2 PBI No. 6/24/PBI/2004 Tentang Bank Umum yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah, memberikan definisi bahwa bank umum syariah adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah yang dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran. Bentuk hukum yang diperkenankan adalah perseroan terbatas atau PT. Dalam buku yang berjudul Manajemen Bank Syari’ah, secara garis besar hubungan ekonomi berdasarkan syariah Islam tersebut di tentukan oleh hubungan akad yang terdiri dari lima konsep dasar akad. Bersumber dari lima dasar konsep inilah dapat ditemukan produk-produk lembaga keuangan bank syariah dan lembaga keuangan bukan bank syariah untuk dioperasionalkan .
            Bank syariah menerapkan sistem bagi hasil kepada nasabah yang menabungkan uangnya di bank. Artinya, nasabah tidak akan pernah dapat menghitung dengan pasti berapa jumlah uangnya yang akan bertambah setiap bulan bila mereka telah menabung dalam jumlah tertentu. Namun, nasabah dapat menghitung porsi atau bagian yang menjadi hak mereka dan berapa porsi atau bagian yang menjadi hak pihak bank syariah.
Perhitungan bagi hasil dihitung secara harian oleh pihak bank syariah, namun akan diberikan langsung oleh pihak bank melalui rekening nasabah setiap akhir bulan. Ada juga beberapa bank syariah yang memberikan bagi hasilnya secara langsung melalui rekening nasabah pada pertengahan bulan.  
Nilai bagi hasil yang diperoleh oleh nasabah tidak akan pernah sama setiap saat meskipun jumlah uang yang mereka miliki di bank tersebut sama. Mangapa? Karena bagi hasil tergantung pada berapa jumlah uang seluruh nasabah yang ditabung di bank tersebut dan berapa jumlah uang yang telah dikelola oleh bank untuk sektor-sektor usaha rill sehingga memberikan keuntungan bagi pihak bank. Keuntunga  inilah yang kemudian dibagi kepada pihak bank sebagai pengelola uang (mudharib) dan nasabah sebagai pemilik uang (shahibul mal) berdasarkan porsi atau bagian yang telah disepakati bersama di muka.

2.1 Jenis-Jenis Akad

Akad merupakan suatu kesepakatan bersama antara kedua belah pihak atau lebih baik secara lisan, isyarat, maupun tulisan yang memiliki implikasi hukum yang mengikat untuk melaksanakannya. Sedangkan Wa’ad adalah janji antara satu pihak kepada pihak lainnya, pihak yang diberi janji tidak memikul kewajiban apa-apa terhadap pihak lainnya. Dalam Wa’ad bentuk dan kondisinya belum ditetapkan secara rinci dan spesifik. Bila pihak yang berjanji tidak dapat memenuhi janjinya, maka sanksi yang diterimanya lebih merupakan sanksi moral.
Hal ini berbeda dengan akad yang mengikat kedua belah pihak yang saling bersepakat yaitu pihak-pihak terikat untuk melaksanakan kewajiban mereka masing-masing yang telah disepakati terlebih dahulu. Dalam akad, bentuk dan kondisinya sudah ditetapkan secara rinci dan spesifik. Bila salah satu atau kedua pihak yang terikat dalam kontrak itu tidak dapat memenuhi kewajibannya, maka ia/mereka menerima sanksi seperti yang sudah disepakati dalam akad.
Dalam kaitannya dengan praktek  perbankan Syari’ah dan ditinjau dari segi maksud dan tujuan dari akad itu sendiri dapat digolongkan kepada dua jenis yakni Akad Tabarru dan Akad Tijari. Syarat umum yang harus dipenuhi suatu akad antara lain :
1)      Pihak-pihak yang melakukan akad telah cakap bertindak hukum
2)      Objek akad harus ada dan dapat diserahkan ketika akad berlangsung,
3)      Akad dan objek akadnya tidak dilarang syara’
4)      Ada manfaatnya
5)      Ijab dan qabul dilakukan dalam satu majelis dan tujuan akad harus jelas dan diakui syara’.

2.1.1  AKAD TABARRU’
Akad tabarru’ (gratuitous  contract) adalah segala macam  perjanjian yang menyangkut  not-for profit transaction  (transaksi nir-laba).  Transaksi ini pada hakekatnya bukan transaksi bisnis untuk mencari keuntungan komersil.  Akad tabarru’ dilakukan dengan tujuan tolong-menolong dalam rangka berbuat kebaikan (tabarru’ berasal dari kata  birr  dalam bahasa Arab, yang artinya kebaikan).  Dalam akad tabarru’, pihak yang berbuat kebaikan tersebut tidak berhak mensyaratkan imbalan apapun kepada pihak lainnya.  Imbalan dari akad  tabarru’ adalah dari Allah SWT, bukan dari manusia.  Namun demikian, pihak yang berbuat kebaikan tersebut boleh meminta kepada  counter-part-nya untuk sekadar menutupi biaya (cover the cost) yang dikeluarkannya untuk dapat melakukan akad  tabarru’ tersebut.  Tapi ia tidak boleh sedikitpun mengambil laba dari akad tabarru’  itu.  Contoh akad-akad  tabarru’ adalah  qard, rahn, hiwalah,  wakalah, kafalah, wadi’ah, hibah,waqf, shadaqah,hadiah, dll.  
Pada hakekatnya, akad tabarru’ adalah akad melakukan kebaikan yang mengharapkan balasan dari Allah SWT semata.  Itu sebabnya akad ini tidak bertujuan untuk mencari keuntungan komersil. Konsekuensi logisnya, bila akad tabarru’ dilakukan dengan mengambil keuntungan komersil, maka ia bukan lagi akad tabarru’.  Ia akan menjadi akad tijarah. Bila ia ingin tetap menjadi akad tabarru’, maka ia tidak boleh mengambil manfaat (keuntungan komersil) dari akad tabarru’ tersebut.  Tentu saja  ia tidak berkewajiban menanggung biaya yang  timbul dari pelaksanaan akad tabarru’.  Artinya, ia boleh meminta pengganti biaya yang dikeluarkan dalam melaksanakan akad tabarru’.
Begitu akad  tabarru’ sudah disepakati, maka akad tersebut tidak boleh dirubah menjadi akad  tijarah  (yakni akad komersil, yang akan segera kita bahas) kecuali ada kesepakatan dari kedua belah pihak untuk mengikatkan diri dalam akad  tijarah tersebut.  Misalkan Bank setuju untuk menerima titipan mobil dari nasabahnya (akad wadiah, dengan demikian bank melakukan akad tabarru’), maka bank tersebut dalam perjalanan kontrak tersebut tidak boleh merubah akad tersebut menjadi akad  tijarah dengan mengambil keuntungan dari jasa wadiah tersebut. Sebaliknya, jika akad tijarah sudah disepakati, maka akad tersebut boleh dirubah menjadi akad  tabarru’ bila pihak yang tertahan haknya dengan rela melepaskan haknya,  sehingga menggugurkan kewajiban pihak yang belum menunaikan kewajibannya.

Fungsi Akad Tabarru’
Akad  tabarru’ ini adalah akad-akad untuk mencari keuntungan akhirat, karena itu bukan akad bisnis.  Jadi, akad ini tidak dapat digunakan untuk tujuan-tujuan komersil.  Bank syariah sebagai lembaga keuangan yang bertujuan untuk mendapatkan laba tidak dapat mengandalkan akad-akad  tabarru’ untuk mendapatkan laba.  Bila tujuan kita adalah mendapatkan laba, maka gunakanlah akad-akad yang bersifat komersil, yakni akad  tijarah.   Namun demikian, bukan berarti akad  tabarru’ sama sekali tidak dapat digunakan dalam kegiatan komersil.  Bahkan pada kenyataannya, penggunaan akad tabarru’ sering sangat vital dalam transaksi komersil, karena akad tabarru’ ini dapat digunakan untuk menjembatani atau memperlancar akad-akad tijarah.
Dengan demikian, kita mempunyai 3 (tiga) bentuk umum akad tabarru’, yakni:

1.      Meminjamkan Uang (lending money
a.      Qard
Merupakan akad yang memberikan tanpa mensyaratkan apapun, selain mengembalikan pinjaman tersebut setelah jangka waktu tertentu. Dalam perjanjiannya, suatu Bank Syari’ah sebagai kreditor memberikan pinjaman kepada pihak (nasabah) dengan ketentuan penerima pinjaman akan mengembalikan pinjaman tersebut pada waktu yang telah ditentukan dalam perjanjian akad dengan jumlah pengembalian yang ketika pinjaman itu diberikan. Pembagian dari Qard ini ada yang  namanya Qardul Hasan atau benevolent adalah suatu akad perjanjian pinjaman lunak diberikn atas dasar kewajiban sosial semata, dengan dasar taa’wun (tolong menolong) kepada mereka yang tergolong lemah ekonominya, dimana si peminjam tidak diwajibkan untuk mengembalikan apapun kecuali modal pinjaman.

b.      Rahn
Rahn adalah menyimpan sejumlah harta yang diserahkan sebagai jaminan secara hak, tetapi dapat diambil kembali sebagai tebusan. Menurut Muhammad Syafi’i Antonio, Rahn (Gadai) adalah menahan salah satu harta milik sipeminjam sebagai jaminan atas pinjaman yang diterimanya. Barang yang ditahan tersebut memiliki nilai ekonomis, dengan demikian pihak yang menahan memperoleh jaminan untuk dapat mengambil kembali seluruh atau sebagian piutangnya.

c.       Hiwalah
Dalam enseklopedi Perbankan Syari’ah Hawalah bisa disebut juga Hiwalah yang berarti intiqal (perpindahan), pengalihan, atau perubahan sesuatu atau memikul sesuatu di atas pundak.Menurut istilah Hawalah diartikan sebagai pemindahan utang dari tanggungan penerima utang (ashil) kepada tannggugan yang bertanggujawab (mushal alih) dengan cara adanya penguat. Atau dengan kata lain adalah pemindahan hak atau kewajiban yang dilakukan seseorang (pihak pertama) yang sudah tidak sanggup lagi untuk membayarnya kepada pihak kedua yang memiliki kemampuan untuk mengambil alih atau untuk menuntut pembayaran utang dari/atau membayar utang kepada pihak ketiga.

2.      Meminjamkan Jasa
a.      Wakalah
Merupakan bentuk penyerahan, pendelagasian atau pemberian mandat dari seseorang kepada orang lain yang dipercayainya. Yang dimaksudkan dalam pembahasan ini wakalah yang merupakan salah salah satu jenis akad yakni pelimpahan kekuasaan oleh seseorang kepada orang lain dalam hal-hal yang diwakilkan. Aplikasi wakalah dalam konteks akad tabarru dalam perbankan Syari’ah berbentuk jasa pelayanan, dimana Bank Syari’ah memberikan jasa wakalah, sebagai wakil dari nasabah pemberi kuasa (muwakil) untuk melakukan sesuatu (taukil). Dalam hal ini Bank akan mendapatkan upah atau biaya administrasi atas jasanya tersebut. Sebagai contoh bank dapat menjadi wakil untuk melakukan pembayaran tagihan listrik atau telpon kepada perusahaan listrik atau perusahaan telpon.

b.      Wadi’ah
Menurut istilah Wadi’ah berarti penguasaan orang lain untuk menjaga hartanya, baik secara sharih (jelas) maupun secara dilalah (tersirat). Atau mengikutsertakan orang lain dalam memelihara harta, baik dengan  ungkapan jelas atau melalui isyarat, contoh; “saya titipkan tas ini kepada anda “ lalu orang itu menjawab “ Saya terima “ Maka sempurnalah akad Wadi’ah.Seperti jenis akad yang lain, Wadi’ah juga merupakan akad yang bersifat tolong menolong antara sesama manusia.
Para ulama sepakat bahwa akad wadi’ah merupakan akad yang mengikat bagi kedua belah pihak. Wadi’ atau pihak yang menerima tuitipan harus bertanggungjawab atas barang yang dititipkan kepadanya, yang berarti menerima amanah untuk menjaganya.

c.       Kafalah
Pengertian kafalah menurut bahasa berati al-dhaman (jaminan), hamalah (beban) dan za’amah (tanggungan). Sedangkan menurut istilah adalah akad pemberian jaminan yang diberikan oleh satu pihak kepada pihak lain, dimana pemberi jaminan (kaafil) bertanggungjawab  atas pembayaran kembali suatu utang  yang menjadi hak penerima jaminan (makful).

3.      Memberikan Sesuatu (Giving Something)
a.      Hibah (Pemberian)
Pengertian Hibah adalah pemilikan terhadap sesuatu pada masa hidup tanpa meminta ganti. Hibah tidak sah kecuali dengan adanya ijab dari orang yang memberikan, tetapi untuk sahnya hibah tersebut menurut Imam Qudamah dari Umar bahwa sahnya hibah itu tidak disyaratkan pernyataan qabul dari si penerima hadiah. Pemberian (hibah) itu sah menurut syara’ dengan syarat-syarat antara lain
- Si pemberi hibah (wahib) sudah bisa dalam mengelola keuangannya.
- Hibah (barang/harta yang diberikan) harus jelas
- Kepemilikan terhadap barang hibah itu terjadi apabila pemberian (hibah)    tersebut       sudah berada ditangan si penerima.(muhab). 

b.       Ibra
Menurut arti kata Ibra sama dengan melepaskan, mengikhlaskan atau menjauhkandiri dari sesuatu. Menurut istilah Fiqh Ibra adalah pengguguran piutang dan menjadikannya milik orang yang berhutang. Menurut syari’at Islam Ibra merupakan salah satu bentuk solidaritas dan sikap saling menolong dalam kebajikan yang sangat dianjurkan  syari’at Islam.  Ibra mengandung pengertian pemilikan utang untuk orang yang berhutang atau mengartikan pengguguran .
2.1.2  AKAD TIJARAH
Seperti yang telah kita singgung di atas, berbeda dengan akad tabarru’,  maka akad  tijarah/mu’awadah (compensational contract) adalah segala macam perjanjian yang menyangkut  for profit transaction.  Akad-akad ini dilakukan dengan tujuan mencari keuntungan, karena itu bersifat komersil.  Contoh akad tijarah adalah akad-akad investasi, jual-beli, sewa-menyewa, dll. 
Kemudian, berdasarkan tingkat kepastian dari hasil yang diperolehnya, akad  tijarah pun dapat kita bagi menjadi dua kelompok besar, yakni:
1.    Natural Uncertainty Contracts; dan
2.    Natural Certainty Contracts

ANTARA NATURAL UNCERTAINTY  DENGAN          
NATURAL CERTAINTY CONTRACTS

A.    Natural Certainty Contracts (NCC)
Dalam NCC, kedua belah pihak saling mempertukarkan aset yang dimilikinya, karena itu objek pertukarannya (baik barang maupun jasa) pun harus ditetapkan di awal akad dengan pasti, baik jumlahnya (quantity), mutunya (quality), harganya (price), dan waktu penyerahannya (time of delivery).  Jadi, kontrak-kontrak ini secara “sunnatullah” (by their nature) menawarkan  return  yang tetap dan pasti.    Yang termasuk dalam kategori ini adalah kontrak-kontrak jual-beli, upah-mengupah, sewa-menyewa, dll,  yakni sebagai berikut:

1.  Akad Jual-Beli
Pada dasarnya ada 5 (lima) bentuk akad jual beli,  yakni:
a.      Al-Bai’ naqdan
Adalah akad jual beli biasa yang dilakukan secara tunai.  (Al-Bai’  berarti jual beli, sedangkan  naqdan artinya tunai).

b.      Al-Bai’ muajjal
Jual-beli dapat juga dilaksanakan tidak secara tunai, tapi dengan cicilan.  Jual beli cicilan ini disebut  al-bai’ muajjal.   Pada jenis ini, barang diserahkan di awal periode, sedangkan uang dapat diserahkan pada periode selanjutnya.  Pembayaran ini dapat dilakukan secara cicilan selama periode hutang, atau dapat juga dilakukan secara sekaligus (lump-sum) di akhir periode. 

c.       Murabahah
Kita juga mengenal suatu akad jual beli, di mana si penjual menyatakan dengan terbuka kepada si pembeli mengenai tingkat keuntungan yang diambilnya.  Bentuk jual-beli seperti ini dinamakan murabahah (terambil dari kata bahasa Arab  ribhu=  keuntungan). Dalam ilmu fikih, akad murabahah  ini pada mulanya digunakan untuk bertransaksi dengan anak kecil atau dengan orang yang kurang akalnya.  Hal ini dilakukan untuk menghindari mereka dari penipuan. Dewasa ini, akad murabahah pun digunakan dalam praktek perbankan syariah, karena nasabah diasumsikan tidak begitu mengetahui teknis perhitungan bagi hasil (dengan demikian dapat dianalogikan sebagai orang yang kurang mengerti, seperti anak kecil).  Jadi bank syariah memberitahukan tingkat keuntungan yang diambilnya kepada nasabah.   

d.      Salam
Bentuk jual beli yang ketiga adalah jual beli salam.  Dalam jual-beli jenis ini, barang yang ingin dibeli biasanya belum ada (misalnya masih harus diproduksi).  Jual beli  salam adalah kebalikan dari jual beli muajjal.  Dalam jual beli  salam, uang diserahkan sekaligus di muka sedangkan barangnya diserahkan di akhir periode pembiayaan.  

e.       Istishna
Bentuk jual beli yang terakhir adalah jual beli  istishna’.  Akad istishna’ sebenarnya adalah akad  salam  yang pembayaran atas barangnya dilakukan secara cicilan  selama periode pembiayaan (jadi tidak dilakukan secara lump-sum di awal).

2. Akad Sewa-Menyewa
a. Ijarah                  
Ijarah adalah akad untuk memanfaatkan jasa, baik jasa atas barang ataupun jasa atas tenaga kerja.  Bila digunakan untuk mendapatkan manfaat barang, maka disebut sewa-menyewa.  Sedangkan jika digunakan untuk mendapatkan manfaat tenaga kerja, disebut upah-mengupah. Sedangkan  ju’alah adalah akad  ijarah yang pembayarannya didasarkan atas kinerja (performance) objek yang disewa/diupah.  Pada  ijarah, tidak terjadi perpindahan kepemilikan objek ijarah.  Objek ijarah tetap menjadi milik yang menyewakan.  Namun demikian, pada zaman modern ini muncul inovasi baru dalam ijarah, di mana si peminjam dimungkinkan untuk memiliki objek ijarahnya di akhir periode peminjaman.  Ijarah yang membuka
Berakhirnya suatu akad ijarah adalah :
1)      .Periode sudah selesai sesuai perjanjian, perjanjian sudah selesai dengan beberapa alasan  misalnya keterlambat masa panen  jika menyewakan lahan untuk pertanain, maka berakhirnya akad setelah masa panen sudah selesai namun kontrak masih dapat berlaku walaupaun dalam
2)      Periode akad belum selesai tetapi pemberi sewa dan penyewa sepakat menghentikan ijarah
3)      Terjadi kerusakan asset
4)      Penyewa tidak dapat membayar uang sewa
5)   Salah satu pihak meninggal dan ahli waris tidak berkeinginan untuk meneruskan akad karena memberatkanya ,kalau ahli waris tidak masalah maka akad tetap di lanjutkan .

B.       Natural Uncertainty Contracts (NUC)
Dalam NUC, pihak-pihak yang bertransaksi saling mencampurkan asetnya (baik  real assets maupun  financial assets) menjadi satu kesatuan, dan kemudian menanggung resiko bersama-sama untuk mendapatkan keuntungan.  Di sini, keuntungan dan kerugian ditanggung bersama.  Karena itu, kontrak ini tidak memberikan kepastian pendapatan (return), baik dari segi jumlah (amount) maupun waktu (timing)-nya.  Yang termasuk dalam kontrak ini adalah kontrak-kontrak investasi.  Kontrak  investasi ini secara “sunnatullah”  (by their nature) tidak menawarkan return yang tetap dan pasti.  Jadi sifatnya tidak “fixed and predetermined”.

a.      Musyarakah
   Akad musyarakah (atau disebut juga syirkah) mempunyai 5 (lima) variasi, yakni: mufawadhah, ‘inan, wujuh, abdan,  dan mudharabah.
1)      Syirkah mufawadhah, para pihak yang berserikat mencampurkan modal dalam jumlah yang sama, yakni Rp X dicampur dengan Rp X juga. Dengan demikian, dalam syirkah mufawadhah, karena porsi modal pihak-pihak yang berserikat besarnya sama, maka besarnya jumlah  keuntungan maupun kerugian yang diterima bagi masing-masing pihak jumlahnya sama pula
2)      Syirkah ‘inan, para pihak yang berserikat mencampurkan modal dalam jumlah yang tidak sama, misalnya Rp X dicampur dengan Rp Y. Dalam syirkah ‘inan, karena jumlah porsi modal yang dicampurkan oleh masing-masing pihak berbeda jumlahnya, maka jumlah keuntungan yang diterima berdasarkan kesepakatan nisbah.  Sedangkan bila rugi, maka masing-masing pihak akan menanggungkerugian sebesar proporsi modal yang ditanamkan dalam  syirkah tersebut.
3)      Syirkah wujuh, terjadi percampuran antara modal dengan reputasi/nama baik seseorang (wujuh, berasal dari kata bahasa Arab yang berarti wajah=reputasi).Dalam  syirkah wujuh, bila terjadi laba, maka keuntungan pun dibagi berdasarkan kesepakatan nisbah antara masing-masing pihak.  Sedangkan bila rugi, maka hanya pemilik modal saja yang akan menanggung kerugian finansial yang terjadi.  Pihak yang menyumbangkan reputasi/nama baik, tidak perlu menanggung kerugian finansial, karena ia tidak menyumbangkan modal finansial apapun.  Namun demikian, pada  dasarnya ia tetap menanggung kerugian pula, yakni jatuhnya reputasi/nama baiknya.
4)      Syirkah ‘abdan, di mana terjadi percampuran jasa-jasa antara orang yang berserikat.  Misalnya ketika konsultan perbankan syariah bergabung dengan konsultan information technology  untuk mengerjakan proyek sistem informasi Bank Syariah Z.  Dalam syirkah bentuk ini, tidak terjadi percampuran modal (dalam arti uang), tetapi yang terjadi adalah percampuran keahlian /keterampilan dari pihak-pihak yang berserikat. Dalam  syirkah ‘abdan, bila terjadi laba, maka laba itu akan dibagi menurut nisbah yang disepakati oleh pihak-pihak yang berserikat.  Sedangkan bila terjadi kerugian, maka kedua belah pihak akan sama-sama menanggungnya, yakni dalam bentuk hilangnya segala jasa yang telah mereka kontribusikan

5)      Syirkah mudharabah, dalam syirkah  ini, terjadi percampuran antara modal dengan jasa keahlian/keterampilan) dari pihak-pihak yang berserikat. Dalam  syirkah mudharabah, bila terjadi keuntungan maka laba tersebut dibagi menurut nisbah bagi hasil yang disepakati oleh kedua belah pihak.  Sedangkan bila rugi, maka penyandang modal (shahib al-mal) yang akan menanggung kerugian finansialnya.  Pihak yang mengkontribusikan jasanya (mudharib) tidak menanggung kerugian finansial apapun, karena ia memang tidak memberikan kontribusi finansial apapun.  Bentuk kerugian yang ditanggung oleh  mudharib berupa hilangnya waktu dan usaha yang selama ini sudah ia kerahkan Tanpa mendapatkan imbalan apapun. 

Dalam semua bentuk  syirkah  tersebut, berlaku ketentuan sebagai berikut: bila bisnis untung maka pembagian keuntungannya didasarkan menurut nisbah bagi hasil yang telah disepakati oleh pihak-pihak yang bercampur.  Bila bisnis rugi, maka pembagian kerugiannya didasarkan menurut porsi modal masing-masing pihak yang bercampur.  
Perbedaan penetapan ini dikarenakan adanya perbedaan kemampuan menyerap (absorpsi) untung dan rugi.  Untung sebesar apapun dapat diserap oleh pihak mana saja.  Sedangkan bila rugi, tidak semua pihak memiliki kemampuan menyerap kerugian yang sama.  Dengan demikian, bila terjadi kerugian, maka besar kerugian yang ditanggung disesuaikan  dengan besarnya modal yang diinvestasikan ke dalam bisnis tersebut..  

b. Muzara’ah (Harvest Yield Profit Sharing)
Al-Muzara’ah adalah akad kerja sama pengolahan pertanian antara pemilik lahan dan penggarap, di mana pemilik lahan memberikan lahan pertanian kepada si penggarap untuk ditanami dan dipelihara dengan imbalan bagian tertentu (persentase) dari hasil panen. Muzara’ah sering diidentikkan dengan mukhabarah. Dimana antara keduanya ada sedikit perbedaan antara lain, apabila benih dari pemilik lahan maka dinamakan muzara’ah, tetapi bila benih dari si penggarap maka dinamakan mukhabarah.

c.       Mukhabarah
Sebagai disebutkan di atas bahwa Mukhabarah sering diidentikkan dengan muzara‘ah, oleh karena itu pembahasan akad ini mirip dengan pembahasan muzara’ah hanya saja dari segi benih yang digunakan adalah berasal dari si penggarap tanah.



2.3           Produk-Produk Bank Syariah Serta Operasionalnya

2.3.1  Produk Pembiayaan (Penyaluran Dana)
Dalam menyalurkan dana pada nasabah, secara garis besar produk pembiayaan syariah terbagi ke dalam tiga kategori yang dibedakan berdasarkan tujuan penggunaannya yaitu:
  1. Transaksi pembiayaan yang ditujukan untuk memiliki barang dilakukan dengan prinsip jual beli.
  2. Transaksi pembiayaan yang ditujukan untuk mendapatkan jasa dilakukan dengan prinsip sewa.
  3. Transaksi pembiayaan untuk usaha kerjasama yang ditujukan guna mendapatkan sekaligus barang dan jasa, dengan prinsip bagi hasil.
Pada kategori pertama dan kedua, tingkat keuntungan bank ditentukan di depan dan menjadi bagian harga atas barang atau jasa yang dijual. Produk yang termasuk dalam kelompok ini adalah produk yang menggunakan prinsip jual-beli seperti murabahah, salam, dan istishna serta produk yang mengguna­kan prinsip sewa yaitu ijarah.
Sedangkan pada kategori ketiga, tingkat keuntungan bank di­tentukan dari besarnya keuntungan usaha sesuai dengan prin­sip bagi-hasil. Pada produk bagi hasil keuntungan ditentukan oleh nisbah bagi hasil yang disepakati di muka. Produk per­bankan yang termasuk ke dalam kelompok ini adaiah musyara­kah dan mudharabah.

1.      Prinsip Jual Beli (Ba’i)
Prinsip jual-beli dilaksanakan sehubungan dengan adanya perpindahan kepemilikan barang atau benda (transfer of property). Tingkat keuntungan bank ditentukan di depan dan menja­di bagian harga atas barang yang dijual. Transaksi jual-beli dibedakan berdasarkan bentuk pembayarannya dan waktu penyerahan barang seperti:

a)      Murabahah
Murabahah berasal dari kata ribhu (keuntungan) adalah transaksi jual-beli di mana bank menyebut jumlah keuntungannya. Bank bertindak sebagai penjual, sementara nasabah sebagai pembeli. Harga jual adalah harga beli bank dari pemasok di­tambah keuntungan. Kedua pihak harus menyepakati harga jual dan jangka waktu pembayaran. Harga jual dicantumkan da­lam akad jual-beli dan jika telah disepakati tidak dapat berubah selama berlakunya akad. Dalam perbankan, murabahah lazimnya dilakukan dengan cara pembayaran cicilan (bi tsaman ajil). Dalam transaksi ini barang diserahkan segera setelah akad sedangkan pembayaran dilakukan secara tangguh.
Contoh Pembiyaan Murabahah
Bpk. Agus berniat memiliki mobil Avanza seharga Rp.120 jt, dan hanya memiliki dana Rp.30 jt. Untuk mengatasi permasalahannya Bpk. Agus ke BNI Syariah untuk mencari solusi. Bagaimana pembiayaan yang akan diterima oleh Bpk.Agus. Untuk mengatasi permasalahan diatas, BNI Syariah memberikan solusi dengan pembiayaan Murabahah Konsumtif Kendaraan (asumsi ekspektasi keuntungan Bank 12% / tahun, dengan jangka waktu 2 tahun).
Perhitungan Bank:
     - Harga Mobil                                 : Rp.120 juta
     - Porsi nasabah                               : Rp.  30 juta -
     - Porsi Bank                                   : Rp.  90 juta
     - Margin Keuntungan                     : Rp.  90 juta  x  12% x 2 th = Rp.21,6 juta
Pembiayaan untuk Nasabah
     - Harga beli mobil              : Rp.120   juta
     - Margin Keuntungan        : Rp.  21,6 juta +
     - Harga jual Bank             : Rp.141,6 juta
     - Angsuran pertama          : Rp.  30   juta  -
     - Sisa angsuran                 : Rp.111,6 juta
  Angsuran perbulan                : Rp.   4,65 juta   (Rp.111,6 juta/24 bulan).

b)     Salam
Salam adalah transaksi jual beli di mana barang yang diper­jualbelikan belum ada. Oleh karena itu barang diserahkan secara tangguh sedangkan pembayaran dilakukan tunai. Bank bertindak sebagai pembeli, sementara nasabah sebagai penjual. Sekilas transaksi ini mirip jual beli ijon, namun dalam trans­aksi ini kuantitas, kualitas, harga, dan waktu penyerahan bar­ang harus ditentukan secara pasti.
Dalam praktek perbankan, ketika barang telah diserahkan kepada bank, maka bank akan menjualnya kepada rekanan nasa­bah atau kepada nasabah itu sendiri secara tunai atau secara cicilan. Harga jual yang ditetapkan bank adalah harga beli bank dari nasabah ditambah keuntungan. Dalam hal bank menjual­nya secara tunai biasanya disebut pembiayaan talangan (bridg­ing financing). Sedangkan dalam hal bank menjualnya secara cicilan, kedua pihak harus menyepakati harga jual dan jangka waktu pembayaran.
Harga jual dicantumkan dalam akad jual-beli dan jika telah disepakati tidak dapat berubah selama berla­kunya akad. Umumnya transaksi ini diterapkan dalam pembiayaan barang yang belum ada seperti pembelian komoditi pertanian oleh bank untuk kemudian dijual kembali secara tunai atau secara cicilan.
Ketentuan umum Salam:
1)       Pembelian hasil produksi harus diketahui spesifikasinya secara jelas seperti jenis, macam, ukuran, mutu dan jumlahnya. Misalnya jual beli 100 kg mangga harum manis kualitas “A” dengan harga Rp5000 / kg, akan diserahkan pada panen dua bulan mendatang.
2)       Apabila hasil produksi yang diterima cacat atau tidak sesuai dengan akad maka nasabah (produsen) harus bertanggung jawab dengan cara antara lain mengembalikan dana yang telah diterimanya atau mengganti barang yang sesuai dengan pesanan.
3)       Mengingat bank tidak menjadikan barang yang dibeli atau di­pesannya sebagai persediaan (inventory), maka dimungkinkan bagi bank untuk melakukan akad salam kepada pihak ketiga (pembeli kedua) seperti bulog, pedagang pasar induk atau rekanan. Mekanisme seperti ini disebut dengan paralel salam.

c)      Istishna
Produk istishna menyerupai produk salam, namun dalam istishna pembayarannya dapat dilakukan oleh bank dalam beberapa kali (­termin) pembayaran. Skim istishna dalam bank syar­iah umumnya diaplikasikan pada pembiayaan manufaktur dan konstruksi.
Ketentuan umum:
  • Spesifikasi barang pesanan harus jelas seperti jenis, macam ukuran, mutu dan jumlah. Harga jual yang telah disepakati di­cantumkan dalam akad istishna dan tidak boleh berubah sela­ma berlakunya akad. Jika terjadi perubahan dari kriteria pe­sanan dan terjadi perubahan harga setelah akad ditandatangani, maka seluruh biaya tambahan tetap ditang­gung nasabah.


2.      Prinsip Ijarah/Sewa
Adalah perjanjian antara Bank (Muajjir = yang menyewakan) dengan nasabah (Musta’jir) sebagai penyewa suatu barang milik Bank dan Bank mendapatkan imbalan jasa atas barang yang disewakannya.
BAI UT TAKJIRI
Adalah perjanjian antara Bank dengan nasabah sebagai penyewa. Nasabah setuju akan membayar uang sewa selama masa sewa yang diperjanjikan dan bila masa sewa berakhir, nasabah mempunyai hak opsi untuk membeli obyek sewa tadi yang disebut dengan istilah Ijarah Muntahia Bittamlik (IMBT) atau Ijarah Bai Ut Takjiri (IBT). Dengan demikian IMBT atau IBT mempunyai 2 (dua) ikatan akad, yaitu Akad sewa dan Akad Jual Beli diakhir masa sewa yang telah disepakati bersama.
            
Contoh Pembiyaan Ijarah                                           
Bpk. Ahmad hendak menyewa sebuah ruang perkantoran disebuah gedung selama 1 tahun mulai dari tanggal 1 Mei 2002 sampai 1 Mei 2003.  Pemilik gedung menginginkan pembayaran sewa secara tunai dimuka sebesar Rp.240 juta.
Dengan pola pembayaran tersebut, kemampuan keuangan Bpk.Ahmad tidak memungkinkan Bpk.Ahmad hanya dapat membayar sewa secara angsuran perbulan. Untuk memecahkan masalah ini, Bpk. Ahmad mendatangi sebuah bank syariah untuk meminta pembiayaan, dengan memaparkan kondisi kebutuhan dan keuangannya. (required rate of profit bank sebesar 20%).
Analisa Bank
-           Harga sewa 1 tahun (tunai dimuka)               : Rp.240.000.000,-
-           Required rate of profit bank (20%)          : Rp.  48.000.000,-
-           Harga sewa kepada nasabah                          : Rp.288.000.000,-
-           Periode pembiayaan                                       : 12 bulan (=360 hari)
-           Besarnya angsuran nasabah per bulan : Rp.24.000.000,-
Dengan analisa tersebut diatas, maka pembiayaan  yang diberikan oleh Bank kepada Bpk.Ahmad adalah :
-           Pembiayaan Ijarah, dengan harga sewa Rp.288.000.000,-
-           Jangka waktu 12 bulan
-           Angsuran Rp.24.000.000,-/bulan   

3.      Prinsip Bagi Hasil

a) Prinsip Mudharabah
Pembiayaan Mudharabah adalah pembiayaan yang dilakukan melalui kerjasama usaha antara dua pihak dimana pemilik modal/Bank (Shahibul maal) menyediakan modal 100% sedangkan Mudharib/nasabah bertindak selaku pengelola usaha dalam bentuk dan jenis usaha serta pembagian keuntungan yang telah disepakati  dalam kontrak.
Transaksi jenis ini tidak mensyaratkan adanya wakil shahibul maal dalam manajemen proyek. Sebagai orang kepercayaan, mudharib harus bertindak hati-hati dan bertanggung jawab un­tuk setiap kerugian yang terjadi akibat kelalaian. Sedangkan se­bagai wakil shahibul maal dia diharapkan untuk mengelola mo­dal dengan cara tertentu untuk menciptakan laba optimal.
Perbedaan yang esensial dari musyarakah dan mudharabah terletak pada besarnya kontribusi atas manajemen dan keuangan atau salah satu diantara itu. Dalam mudharabah modal ha­nya berasal dari satu pihak, sedangkan dalam musyarakah mo­dal berasal dari dua pihak atau lebih. musyarakah dan mudhar­abah dalam literatur fiqih berbentuk perjanjian kepercayaan (uqud al amanah) yang menuntut tingkat kejujuran yang tinggi dan menjunjung keadilan. Karenanya masing-masing pihak ha­rus menjaga kejujuran untuk kepentingan bersama dan setiap usaha dari masing-masing pihak untuk melakukan kecurangan dan ketidakadilan pembagian pendapatan betul-betul akan me­rusak ajaran Islam.

Ketentuan umum
1)       Jumlah modal yang diserahkan kepada nasabah selaku pengelola modal; harus diserahkan tunai, dapat berupa uang       atau barang yang dinyatakan nilainya dalam satuan uang. Apabila modal diserahkan secara bertahap, harus jelas tahapannya dan disepakati bersama.
2)       Hasil dan pengelolaan modal pembiayaan mudharabah dapat diperhitungkan dengan dua cara:
-          Perhitungan dari pendapatan proyek (revenue sharing)
-          Perhitungan dari keuntungan proyek (profit sharing)
3)       Hasil usaha dibagi sesuai dengan persetujuan dalam akad, pada setiap bulan atau waktu yang disepakati. Bank selaku pemilik modal menanggung seluruh kerugian kecuali akibat kelalaian dan penyimpangan pihak nasabah, seperti penyeleweng-an, kecurangan dan penyalahgunaan dana.
4)       Bank berhak melakukan pengawasan terhadap pekerjaan namun tidak berhak mencampuri urusan pekerjaan/usaha nasabah. Jika nasabah cidera janji dengan sengaja misalnya tidak mau membayar kewajiban atau menunda pembayaran kewa­jiban, dapat dikenakan sanksi administrasi.
 Mudharabah Muqayyadah       
Karakteristik mudharabah muqayadah pada dasarnya sama dengan persyaratan di atas. Perbedaannya adalah terletak pa­da adanya pembatasan penggunaan modal sesuai dengan per­mintaan pemilik modal.

Contoh Pembiayaan Mudharabah
   Bpk.Ahmad memiliki usaha pengadaaan gula untuk beberapa pasar swalayan dan restauran dengan omzet Rp.50 jt/bulan dan berniat menambah modal Rp.250 juta.Untuk meningkatkan volume usaha hingga  mencapai omzet yang diharapkan sebesar Rp.75 juta/bulan untuk mengatasi hal tsb. BNI Syariah memberi solusi dengan pembiayaan Mudharabah (dengan asumsi ekspektasi keuntungan Bank 20%).
Perhitungan Bank :
   - Porsi Bank                                     : Rp.250 juta
   - Keuntungan diharapkan Bank     : 20% x Rp.250 juta = Rp.50 juta
                                                            atau Rp.600 jt/thn
   - Omzet usaha selama 1 thn           : Rp.75 juta/bln x 12 bln
                                                          : Rp.900 juta/tahun
   - Maka nisbah bagi hasil Bank       : Rp.600juta / Rp.900juta
                                                          : 66,67%
   - Nisbah bagi hasil nasabah            : 33,33%

b) Prinsip Musyarakah
Pembiayaan Musyarakah adalah suatu kesepakatan antar Bank dengan nasabah untuk membiayai suatu   proyek dimana masing-masing pihak secara bersama-sama menyediakan dana dan berpartisipasi dalam kerja masing-masing pihak berhak atas segala keuntungan dan bertanggung jawab atas segala kerugian yang terjadi sesuai dengan pernyataannya masing-masing. Termasuk dalam golongan musyarakah adalah se­mua bentuk usaha yang melibatkan dua pihak atau lebih dima­na mereka secara bersama-sama memadukan seluruh bentuk sumber daya baik yang berwujud maupun tidak berwujud.
Secara spesifik bentuk kontribusi dari pihak yang bekerjasa­ma dapat berupa dana, barang perdagangan (trading asset), kewiraswastaan (entrepreneurship), kepandaian (skill), kepemilikan (property), peralatan (equipment) , atau intangible asset (seperti hak paten atau goodwill), kepercayaan/reputasi (credit worthiness) dan barang-barang lainnya yang dapat dinilai dengan uang. Dengan merangkum seluruh kombinasi dari bentuk kontribusi masing-masing pihak dengan atau tanpa batasan waktu menjadikan produk ini sangat fleksibel.

Ketentuan umum:
Semua modal disatukan untuk dijadikan modal proyek musyarakah dan dikelola bersama-sama. Setiap pemilik modal ber­hak turut serta dalam menentukan kebijakan usaha yang dijalankan oleh pelaksana proyek. Pemilik modal dipercaya untuk menjalankan proyek musyarakah tidak boleh melakukan tindak­an seperti:
1)       Menggabungkan dana proyek dengan harta pribadi.
2)       Menjalankan proyek musyarakah dengan pihak lain tanpa ijin pemilik modal lainnya.
3)       Memberi pinjaman kepada pihak lain.
4)       Setiap pemilik modal dapat mengalihkan penyertaan atau di­gantikan oleh pihak lain.
5)       Setiap pemilik modal dianggap mengakhiri kerjasama apabila:
-           Menarik diri dari perserikatan
-           Meninggal dunia,
-           Menjadi tidak cakap hukum
6)       Biaya yang timbul dalam pelaksanaan proyek dan jangka waktu proyek harus diketahui bersama. Keuntungan dibagi sesuai kesepakatan sedangkan kerugian dibagi sesuai dengan porsi kontribusi modal.
7)       Proyek yang akan dijalankan harus disebutkan dalam akad. Setelah proyek selesai nasabah mengembalikan dana terse­but bersama bagi hasil yang telah disepakati untuk bank.

Contoh Pembiayaan Musyarakah
     Perusahaan Kontraktor PT.ABC mendapatkan  proyek pembangunan BTS di PT.Telkom dengan nilai kontrak Rp.3,7 Milyar. PT.ABC mengajukan pembiayaan ke BNI Syariah sebesar Rp.2,6 Milyar untuk jangka waktu 7 bulan PT.ABC mengestimasi keuntungan Rp.630 jtu. Untuk mengatasi hal tsb. BNI Syariah memberi solusi dengan pembiayaan Musyarakah (dengan asumsi ekspektasi keuntungan Bank 20%).
               Perhitungan Bank
    - Proyeksi keuntungan  : Rp.2,6 M x 7/12 x 20%
                                 = Rp.303 juta
    - Bagi hasil bank : nasabah = Rp.303 juta/Rp.630 juta
    - Nisbah bagi hasil untuk bank : 48,10%
    - Nisbah bagi hasil nasabah    : 51,90%

2.3.2 Produk Penghimpun Dana
Penghimpunan dana di bank syariah dapat berbentuk giro, tabungan dan deposito. Prinsip operasional syariah yang diterapkan dalam penghimpunan dana masyarakat adalah prinsip wadi ah dan mudharabah.

a) Prinsip Wadiah
Al-Wadi’ah dapat diartikan sebagai titipan murni dari suatu pihak ke pihak lain, baik individu  maupun badan hukum yang harus dijaga dan dikembalikan kapan saja si penitip menghendaki (Sayyid Sabiq).
Ketentuan umum dari produk ini adalah:
1)      Keuntungan atau kerugian dari penyaluran dana menjadi hak milik atau ditanggung bank, sedang pemilik dana tidak dijanjikan imbalan dan tidak menanggung kerugian. Bank dimungkinkan memberikan bonus kepada pemilik dana sebagai sua­tu insentif untuk menarik dana masyarakat namun tidak boleh diperjanjikan di muka.
2)      Bank harus membuat akad pembukaan rekening yang isinya mencakup izin penyaluran dana yang disimpan dan persyaratan lain yang disepakati selama tidak bertentangan dengan prinsip syariah. Khusus bagi pemilik rekening giro, bank dapat memberikan buku cek, bilyet giro, dan debit card.
3)      Terhadap pembukaan rekening ini bank dapat mengenakan pengganti biaya administrasi untuk sekedar menutupi biaya yang benar-benar terjadi.
4)      Ketentuan-ketentuan lain yang berkaitan dengan rekening giro dan tabungan tetap berlaku selama tidak bertentangan dengan prinsip syariah.

Type Wadiah :
1)      Wadiah Yad Amanah (kepercayaan)
Dengan konsep al-wadi’ah yad al-amanah, pihak yang menerima tidak boleh menggunakan dan memanfaatkan uang atau barang yang dititipkan, tetapi benar-benar menjaganya sesuai kewajiban
Ciri Wadiah Yad Amanah:
1.      Penerima titipan (Custodian) adalah yang memperoleh kepercayaan (trustee)
  1. Harta / modal / barang yang berada dalam titipan  harus dipisahkan
  2. Harta dalam titipan tidak dapat digunakan
  3. Penerima titipan tidak mempunyai hak untuk memanfaatkan simpanan
  4. Penerima titipan  tidak diharuskan mengganti segala resiko kehilangan atau kerusakan  harta yang dititipkan kecuali bila kehilangan atau kerusakan itu karena kelalaian penerima titipan atau bila status titipan telah berubah menjadi Wadiah Yad Dhamanah

2)      Wadiah Yad Dhamanah (simpanan yang dijamin)
Bank Syariah menggunakan prinsip wadiah yad Dhamanah dalam pengoperasian giro dan tabungan.
Dengan konsep al wadiah yad adh-dahamah, pihak yang menerima titipan boleh menggunakan dan memanfaatkan uang atau barang yang dititipkan. Tentunya, pihak bank dalam hal ini mendapatkan bagi hasil dari pengguna dana. Bank dpt memberikan insentif kepada penitip dalam bentuk bonus.
Ciri Wadi’ah Yad Dhamanah:
1)      Penerima Titipan adalah dipercaya dan penjamin keamanan barang yang dititipkan
2)      Harta dalam titipan tidak harus dipisahkan
3)      Harta/modal/barang dalam titipan dapat digunakan untuk perdagangan
4)      Penerima titipan berhak atas pendapatan yang diperoleh dari pemanfaatan harta titipan dalam perdagangan
5)      Pemilik harta / modal / barang dapat menarik kembali titipannya sewaktu-waktu
Konsep Bonus
1)      Penerima titipan (bank) tidak boleh menyatakan atau menjanjikan imbalan atau keuntungan apapun kepada pemegang rekening wadiah
2)      Pemilik harta titipan tidak boleh mengharapkan atau meminta imbalan atau keuntungan atas rekening wadiah
3)      Setiap imbalan atau keuntungan yang dijanjikan sebelumnya dapat dianggap riba, baik dalam bentuk uang maupun dalam bentuk lain
4)      Penerima titipan ( bank) atas kehendaknya sendiri dapat memberikan imbalan kepada pemilik harta titipan (pemegang rekening wadiah)

Feature Tabungan Wadiah
1)      Dalam tabungan Bank syariah mengikuti 2 akad: wadi’ah dan mudharobah
2)      Menggunakan buku atau kartu ATM
3)      Minimum setoran pertama dan saldo minimum yang harus dipertahankan
4)      Tabungan tidak terbatas, dan dapat ditarik sewaktu-waktu
5)      Type Rekening :   Rekening perseorangan
Rekening bersama antara beberapa individu
Perkumpulan/kelompok yang tidak berbadan hukum
Rekening perwalian, yg dioperasikan orang tua/ wali
atas nama pemegang rekening (yang belum dewasa)
Feature Giro Wadiah
1)      Pembayaran bonus dilakukan dengan mengkredit rekening tabungan.
2)      Bank Syariah menggunakan akad wadi’ah yad adh-dhamanah untuk rekening giro
3)      Kepada pemegang rekening diberikan buku cek untuk mengoperasikan rekening
4)      Ada minimum setoran awal, dan diperlukan referensi bagi pemegang rekening
5)      Calon pemegang rekening tidak terdaftar dalam daftar hitam dari BI
6)      Penarikan dana dapat dilakukan sewaktu-waktu dengan menggunakan cek atau instruksi tertulis lainnya
7)       Type rekening :
                        - Rekening perorangan
                        - Rekening bersama atau  Rekening kelompok/pekumpulan
                        - Rekening perusahaan (Badan Hukum)
Servis lainnya :  
            - Cek khusus
            - Instruksi siaga (standing instruction)
            - Transfer dana secara otomatis
1)       Pemegang rekening menerima salinan rekening (account statement) setiap bulan dengan rincian transaksi selama bulan yang bersangkutan
2)       Bank dapat mengirim Konfirmasi  saldo  kepada pemegang rekening setiap akhir tahun atau setiap periode tertentu (yang lebih pendek) bila dianggap perlu oleh bank atau atas permintaan pemegang rekening.

b) Prinsip Mudharabah
Mudharabah disebut juga Muqarradhah yang berarti bepergian untuk urusan dagang.Secara muamalah, Al Mudharabah adalah Akad kerjasama antara pemilik dana (shahibul maal) dengan pengusaha (mudharib) untuk melakukan suatu usaha bersama. Keuntungan yang diperoleh dibagi antara keduanya dengan perbandingan nisbah yang disepakati sebelumnya.

Type Mudharabah
Ada tiga type mudharabah :
1)      Mudharabah mutlaqah :
Dimana pemilik (shahibul maal) dana memberikan keleluasaan penuh kepada kepada pengelola (mudharib) untuk mempergunakan dana tersebut dalam usaha yang dianggapnya baik dan menguntungkan. Namun pengelola tetap bertanggung jawab untuk melakukan pengelolaan sesuai dengan praktek kebiasaan usaha normal yang sehat (uruf)
Dalam skema mudharabah mutlaqah terdapat hal-hal yang berbeda secara fundamental dalam hal  nature of relationship antara bank dan customer dibanding bank konvensional:
1.Penabung atau deposan di bank syariah adalah investor dengan sepenuh penuhnya bermakna investor. Dia bukan lender atau creditor bagi bank seperti halnya bank umum, dengan demikian, secara prinsip penabung dan deposan entitled untuk risk dan return dari usaha bank
2. Bank memiliki 2 fungsi: kepada deposan ia bertindak sebagai pengelola (mudharib), sedangkan kepada dunia usaha dia berfungsi sebagai pemilik dana . Dengan demikian baik”kekiri maupun ke kanan “ bank harus sharing risk dan return
3. Dunia usaha berfungsi sebagai pengguna dan pengelola dana yang harus berbagi hasil dengan pemilik dana, yaitu bank. Dalam perngembangannya nasabah pengguna dana dapat juga menjalin hubungan dengan bank dalam bentuk jual beli, sewa, dan fee based servis
Penerapan mudharabah mutlaqah dapat berupa tabungan dan deposito sehingga terdapat dua jenis penghimpunan dana yaitu: tabungan mudharabah dan deposito mudharabah. Berda­sarkan prinsip ini tidak ada pembatasan bagi bank dalam menggunakan dana yang dihimpun.
Ketentuan umum dalam produk ini adalah:
1)       Bank wajib memberitahukan kepada pemilik dana mengenai nisbah dan tata cara pemberitahuan keuntungan dan atau pembagian keuntungan secara resiko yang dapat ditimbulkan dari penyimpanan dana. Apabila telah tercapai kesepakatan; maka hal tersebut harus dicantumkan dalam akad.
2)       Untuk tabungan mudharabah, bank dapat memberikan buku tabungan sebagai bukti penyimpanan, serta kartu ATM dan atau alat penarikan lainnya kepada penabung. Untuk deposito mudharabah, bank wajib memberikan sertifikat atau tanda penyimpanan (bilyet) deposito kepada deposan.
3)       Tabungan mudharabah dapat diambil setiap saat oleh penabung sesuai dengan perjanjian yang disepakati, namun tidak        diperkenankan mengalami saldo negatif.
4)       Deposito mudharabah hanya dapat dicairkan sesuai dengan jangka waktu yang telah disepakati. Deposito yang diperpanjang, setelah jatuh tempo akan diperlakukan sama seperti de­posito baru, tetapi bila pada akad sudah dicantumkan perpan­jangan otomatis maka tidak perlu dibuat akad baru.
5)       Ketentuan-ketentuan yang lain yang berkaitan dengan tabungan dan deposito tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan prinsip syariah.

2)      Mudharabah Muqayyadah on Balance Sheet
Jenis mudharabah ini merupakan simpanan khusus (restrict­ed investment) dimana pemilik dana dapat menetapkan syarat­-syarat tertentu yang harus dipatuhi oleh bank. Misalnya disya­ratkan digunakan untuk bisnis tertentu, atau disyaratkan digu­nakan dengan akad tertentu, atau disyaratkan digunakan untuk nasabah tertentu.
Karakteristik jenis simpanan ini adalah sebagai berikut :
1)       Pemilik dana wajib menetapkan syarat tertentu yang harus di­ikuti oleh bank wajib membuat akad yang mengatur persyarat­an penyaluran dana simpanan khusus.
2)       Bank wajib memberitahukan kepada pemilik dana mengenai nisbah dan tata cara pemberitahuan keuntungan dan atau      pembagian keuntungan secara resiko yang dapat ditimbulkan dari penyimpanan dana. Apabila telah tercapai kesepakatan, maka hal tersebut harus dicantumkan dalam akad.
3)       Sebagai tanda bukti simpanan bank menerbitkan bukti simpanan khusus. Bank wajib memisahkan dana dari rekening lainnya.
4)       Untuk deposito mudharabah, bank wajib memberikan sertifikat atau tanda penyimpanan (bilyet) deposito kepada deposan.

3)      Mudharabah Muqayyadah off Balance Sheet
Jenis mudharabah ini merupakan penyaluran dana mudharabah langsung kepada pelaksana usahanya, dimana bank ber­tindak sebagai perantara (arranger) yang mempertemukan an­tara pemilik dana dengan pelaksana usaha. Pemilik dana dapat menetapkan syarat-syarat tertentu yang harus dipatuhi oleh bank dalam mencari kegiatan usaha yang akan dibiayai dan pe­laksana usahanya.
Karakteristik jenis simpanan ini adalah sebagai berikut :
1)       Sebagai tanda bukti simpanan bank menerbitkan bukti simpanan khusus. Bank wajib memisahkan dana dari rekening lainnya. Simpanan khusus dicatat pada pos tersendiri dalam rekening administratif.
2)       Dana simpanan khusus harus disalurkan secara langsung kepada pihak yang diamanatkan oleh pemilik dana.
3)       Bank menerima komisi atas jasa mempertemukan kedua pihak. Sedangkan antara pemilik dana dan pelaksana usaha berlaku nisbah bagi hasil


2.3.3        Produk Jasa
Bank syariah dapat melakukan berbagai pelayanan jasa perbankan kepada nasabah dengan mendapat imbalan berupa sewa atau keuntungan. Jasa perbankan tersebut antara lain berupa :
a) Sharf (Jual Beli Valuta Asing)
Pada prinsipnya jual-beli valuta asing sejalan dengan prinsip sharf. Jual beli mata uang yang tidak sejenis ini, penyerahan­nya harus dilakukan pada waktu yang sama (spot). Bank mengambil keuntungan dari jual beli valuta asing ini.

b) ljarah (Sewa)
Jenis kegiatan ijarah antara lain penyewaan kotak simpanan (safe deposit box) dan jasa tata-laksana administrasi dokumen (custodian). Bank dapat imbalan sewa dari jasa tersebut.

c) Hiwalah (Alih Utang-Piutang)
Hiwalah adalah transaksi mengalihkan utang piutang. Dalam praktek perbankan syariah fasilitas hiwalah lazimnya untuk membantu supplier mendapatkan modal tunai agar dapat me­lanjutkan produksinya. Bank mendapat ganti biaya atas jasa pemindahan piutang. Untuk mengantisipasi resiko kerugian yang akan timbul, bank perlu melakukan penelitian atas kemampuan pihak yang berutang dan kebenaran transaksi antara yang memindahkan piutang dengan yang berutang.
Katakanlah         seo­rang supplier bahan bangunan menjual barangnya kepada pemilik proyek yang akan dibayar dua bulan kemudian. Karena kebutuhan supplier akan likuiditas, maka ia meminta bank untuk mengambil alih piutangnya. Bank akan menerima pembayaran dari pemilik proyek.


d) Rahn
Tujuan akad rahn adalah untuk memberikan jaminan pem­bayaran kembali kepada bank dalam memberikan pembiayaan.
Barang yang digadaikan wajib memenuhi kriteria :
  • Milik nasabah sendiri.
  • Jelas ukuran, sifat, dan nilainya ditentukan berdasarkan nilai riil pasar.
  • Dapat dikuasai namun tidak boleh dimanfaatkan oleh bank. Atas izin bank, nasabah dapat menggunakan barang tertentu yang digadaikan dengan tidak mengurangi nilai dan merusak barang yang digadaikan. Apabila barang yang digadaikan rusak atau cacat, maka nasabah harus bertanggungjawab.
Apabila nasabah wanprestasi, bank dapat melakukan penjualan barang yang digadaikan atas perintah hakim. Nasabah mempunyai hak untuk menjual barang tersebut dengan seizin bank. Apabila hasil penjualan melebihi kewajibannya, maka ke­lebihan tersebut menjadi milik nasabah. Dalam hasil penjualan tersebut lebih kecil dari kewajibannya, nasabah menutupi keku­rangannya.

e) Qardh                   
Qardh adalah pinjaman uang. Aplikasi qardh dalam perbankan biasanya dalam empat hal, yaitu :
1)      Sebagai pinjaman talangan haji, dimana nasabah calon haji diberikan pinjaman talangan untuk memenuhi syarat penyetoran. Biaya perjalanan haji. Nasabah akan melunasinya sebelum ke­berangkatannya ke haji.
2)      Sebagai pinjaman tunai (cash advanced) dari produk kartu kredit syariah, dimana nasabah diberi keleluasaan untuk menarik uang tunai milik bank melalui ATM. Nasabah akan mengem­balikannya sesuai waktu yang ditentukan.
3)      Sebagai pinjaman kepada pengusaha kecil, dimana menurut perhitungan bank akan memberatkan si pengusaha bila diberikan pembiayaan dengan skema jual beli, ijarah, atau bagi hasil.
4)      Sebagai pinjaman kepada pengurus bank, dimana bank me­nyediakan fasilitas ini untuk memastikan terpenuhinya kebutuhan pengurus bank. Pengurus bank akan mengembalikannya se­cara cicilan melalui pemotongan gajinya.

f) Wakalah (Perwakilan)
Wakalah dalam aplikasi perbankan terjadi apabila nasabah memberikan kuasa kepada bank untuk mewakili dirinya melakukan pekerjaan jasa tertentu, seperti pembukuan L/C, inkaso dan transfer uang. Bank dan nasabah yang dicantumkan dalam akad pemberian kuasa harus cakap hukum. Khusus untuk pembukaan L/C, apa­bila dana nasabah ternyata tidak cukup, maka penyelesaian L/C (settlement L/C) dapat dilakukan dengan pembiayaan murabahah, salam, ijarah, mudharabah, atau musyakarah.

g) Kafalah (Garansi Bank)
Garansi bank dapat diberikan dengan tujuan untuk menjamin pembayaran suatu kewajiban pembayaran. Bank dapat mem­persyaratkan nasabah untuk menempatkan sejumlah dana un­tu fasilitas ini sebagai rahn. Bank dapat pula menerima dana tersebut dengan prinsip wadi ah. Bank mendapatkan pengganti biaya atas jasa yang diberikan.



     

BAB III
PENUTUP

3.2 Kesimpulan
Bank syariah adalah bank yang melaksanakan kegiatan usahanya berdasarkan prisnsip syariah dan memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran. Pada umumnya ada dua pembagian akad dalam perbankan syariah ini, yaitu akad tabarru dan akad tijarah. Akad tabarru merupakan akad yang tidak mencari keuntungan (non profit) , jadi akad ini kurang bisa digunakan dalam dunia perbankan. Sedangkan akad yang kedua yaitu akad tijarah, merupakan akad yang menyangkut transaksi yang menghasilkan laba (profit transaction). Akad-akad ini nantinya akan terimplikasi sesuai dengan aktivitas yang dilakukan oleh objek pelaku. Selain itu, produk-produk pada perbankan syariah juga beraneka ragam. Terdiri dari produk penghimpun dana, produk pembiayaan, dan produk pelayanan jasa .

3.2 Saran
Sebagai bank yang menerapkan konsep syariah, sebaiknya perluasan jaringan nya tidak hanya dikalangan muslim saja. Melainkan untuk seluruh masyarakat yang merupakan calon nasabah atau costumer pada sebuah bank. Hal ini bertujuan agar dunia perbankan tidak baku, dan semakin dinamis dengan adanya bermacam-macam sistem yang memberikan warna tersendiri untuk lembaga keuangan bank.